Biografi
Masril
Koto, Sosok Pahlawan Petani Indonesia. Masril Koto: Pendiri Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis
(LKMA) Prima Tani dan Konsultan Perusahaan Belanda yang Tidak Lulus SD
Tubuh kecilnya dengan kulit kelam. Namun,
dalam usia 36 tahun, ia telah mengukir pekerjaan besar di negeri ini. Yakni,
membantu petani lepas dari kemiskinan.
Masril Koto, Nama Masril adalah pemberian
orang tua saya sedangkan Koto adalah nama Suku saya. Asal saya dari Agam
Sumatera Barat, demikian Bung Masril menjelaskan dirinya di kantor Konsorsium
Pembaruan Agraria (KPA), beberapa waktu lalu.
Masril Koto adalah pendobrak
kebekuan fungsi intermediasi industri perbankan
di bidang pertanian. Bersama para rekannya, petani yang tak tamat sekolah dasar
itu mendirikan Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKMA) Prima Tani di Nagari
Koto Tinggi, Kecamatan Baso, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, pada 2007.
LKMA Prima Tani di Nagari Koto Tinggi itu menjadi
cikal bakal program pengembangan usaha agribisnis pedesaan (PUAP) nasional.
Kini, lebih dari 300 unit LKMA telah berdiri di seantero Sumbar atas dorongannya. Masril selalu memotivasi agar LKMA didirikan sebagai
solusi permodalan petani. Maka, dalam ranselnya tersimpan aneka perlengkapan
penunjang aktivitas, seperti spidol, beragam contoh dokumen pendukung pendirian
dan operasional LKMA.
Proses panjang perjuangan Masril mendirikan
LKMA diawali pada 2003. Sebagai petani, ia menanam padi serta membudidayakan
jagung dan ubi jalar. Waktu itu ia ingin beralih menjadi petambak lele. Sampai
suatu hari, ia bertemu seniman-petani Rumzi Sutan yang mendendangkannya lagu
tentang cita-cita kemandirian petani.
Sejak itulah Masril bertekad memajukan petani.
Ia lalu mengikuti sekolah lapangan (SL) petani dari Dinas Pertanian Sumbar di
Nagari Tabek Panjang, Baso, Agam. Di sekolah lapangan itu, ia tersadar bahwa
persoalan utama petani adalah permodalan. Hal ini tak bisa dipecahkan industri
perbankan. Maka, tercetus ide untuk membuat bank petani, demi memenuhi
kebutuhan mereka.
Perjuangan Masril bukan tanpa hambatan.
Berbagai cibiran pun datang, juga dari keluarga.”Kepada istri saya katakan, jika kita ikhlas
mengerjakan sesuatu, Insya Allah ada balasannya,”kata Masril.
Hal itu terbukti. Tahun 2008 ia dikontrak
perusahaan Jepang dengan gaji Rp 2,5 juta per bulan. Kini, ia menjadi konsultan
perusahaan Belanda bergaji Rp 3,5 juta sebulan.
Seusai mengikuti
sekolah lapangan, ia mengumpulkan sejumlah rekan dan membentuk tim
beranggotakan lima orang. Tugasnya, mencari tahu seluk-beluk pendirian bank petani. Tim itu dibekali dana pencarian
informasi Rp 600.000. Mereka menemui para mantan pegawai bank, dinas terkait,
dan mendatangi bank-bank umum.
Tahun 2006 mereka ke Padang guna mengikuti
diskusi dari Yayasan Alumni Fakultas Pertanian Universitas Andalas (AFTA). Saat
itu sisa dana pencarian informasi Rp 150.000, masih dipotong uang bukti
pelanggaran (tilang) lalu lintas Rp 40.000 gara-gara salah membaca rambu lalu
lintas.
Dalam diskusi
yang dihadiri pejabat Bank Indonesia itu,
Masril diberi tahu bahwa dana perbankan cukup banyak. Dana itu bisa
dimanfaatkan untuk modal kelompok tani.
Modal mendirikan LKMA diperoleh
lewat penjualan saham Rp 100.000 per lembar kepada ratusan petani. Setelah
modal diperoleh, muncul masalah pembukuan. Mereka lalu mengikuti pelatihan
konsultan dari Yogyakarta.
Masril bertahan memajukan petani sebab ia tak
ingin mereka terus-menerus dieksploitasi, terutama saat menjelang pemilihan
umum. Kini, ia menyiapkan pembentukan lembaga bernama Lumbung Pangan Rakyat.
Targetnya, mengganti peran Bulog yang tak bertugas menurut fungsi yang
diamanatkan.